Penganggaran adalah proses penyusunan anggaran.
Penganggaran merupakan satu aspek penting bagi keuangan daerah. Anggaran
merupakan pedoman tindakan yang akan dilaksanakan pemerintah meliputi rencana
pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan yang diukur dalam satuan rupiah,
yang disusun menurut klasifikasi tertentu secara sistematis untuk satu periode.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
merupakan bahan APBD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah untuk dibahas dalam
sidang DPRD untuk disetujui sebagai APBD. APBD merupakan anggaran tahunan yang
dilaksanakan mulai tanggal 1 Januari hingga 31 Desember.
APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
pemerintah dan kemampuan pendapatan daerah. Azas ini mengharuskan pemerintah
daerah merencanakan kegiatan daerah yang dibutuhkan masing-masing dengan
memperhatikan kemampuan daerah dalam memperoleh pendapatan. Daerah diseyogyakan
untuk menghindari utang daerah.
Penyusunan APBD didasarkan kepada rencana kerja pemerintah daerah untuk mewujudkan pelayanan masyarakat untuk mencapai cita-cita negara.
Penyusunan APBD didasarkan kepada rencana kerja pemerintah daerah untuk mewujudkan pelayanan masyarakat untuk mencapai cita-cita negara.
APBD mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut.
1. otorisasi
2. perencanaan
3. pengawasan
4. alokasi
5. distribusi
6. stabilisasi.
Fungsi otorisasi bermakna bahwa anggaran daerah menjadi
dasar untuk merealisasi pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan. Tanpa
dianggarkan dalam APBD sebuah kegiatan tidak memiliki kekuatan untuk
dilaksanakan. Fungsi perencanaan bermakna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi
manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan
mengandung makna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai
keberhasilan atau kegagalan
penyelenggaraan
pemerintah daerah.
Fungsi alokasi mengandung makna bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan pemborosan sumberdaya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian daerah. Fungsi distribusi memiliki makna bahwa kebijakan-kebijakan dalam penganggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Fungsi stabilitasi memliki makna bahwa anggaran daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.
Fungsi alokasi mengandung makna bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan pemborosan sumberdaya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian daerah. Fungsi distribusi memiliki makna bahwa kebijakan-kebijakan dalam penganggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Fungsi stabilitasi memliki makna bahwa anggaran daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.
Proses perencanaan dan penyusunan APBD, mengacu pada PP
Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, secara garis besar
sebagai berikut:
1.
penyusunan rencana kerja
pemerintah daerah;
2.
penyusunan rancangan kebijakan
umum anggaran;
3.
penetapan prioritas dan plafon
anggaran sementara;
4.
penyusunan rencana kerja dan
anggaran SKPD;
5.
penyusunan rancangan perda APBD;
6. penetapan APBD.
Rencana Kerja Pemerintah Daerah
Penyusunan APBD didasarkan pada perencanaan yang sudah
ditetapkan terlebih dahulu, mengenai program dan kegiatan yang akan
dilaksanakan. Bila dilihat dari perspektif waktunya, perencanaan di tingkat
pemerintah daerah dibagi menjadi tiga kategori yaitu:
- Rencana Jangka Panjang Daerah (RPJPD), merupakan perencanaan pemerintah daerah untuk
periode 20 tahun;
-
Rencana Jangka Menengah Daerah (RPJMD) merupakan
perencanaan pemerintah daerah untuk periode 5 tahun; dan
-
Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD) merupakan perencanaan tahunan daerah.
Sedangkan perencanaan di tingkat SKPD terdiri dari:
-
Rencana Strategi (Renstra) SKPD merupakan rencana
untuk periode 5 tahun; dan
- Rencana Kerja (Renja) SKPD merupakan rencana kerja tahunan SKPD.
Proses penyusunan
perencanaan di tingkat satker dan pemda dapat diuraikan sebagai berikut:
a.
SKPD menyusun rencana strategis
(Renstra-SKPD) yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan
kegiatan pembangunan yang bersifat indikatif sesuai dengan tugas dan fungsinya
masing-masing.
b.
Penyusunan Renstra-SKPD dimaksud
berpedoman pada rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD). RPJMD
memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan
umum, dan program SKPD, lintas SKPD, dan program kewilayahan.
c.
Pemda menyusun rencana kerja
pemerintah daerah (RKPD) yang merupakan penjabaran dari RPJMD dengan
menggunakan bahan dari Renja SKPD untuk jangka waktu satu tahun yang mengacu
kepada Renja Pemerintah.
d.
Renja SKPD merupakan penjabaran
dari Renstra SKPD yang disusun berdasarkan evaluasi pencapaian pelaksanaan
program dan kegiatan tahun-tahun sebelumnya.
e.
RKPD memuat rancangan kerangka
ekonomi daerah, prioritas, pembangunan dan kewajiban daerah, rencana kerja yang
terukur dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemda maupun
ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
f.
Kewajiban daerah sebagaimana
dimaksud di atas adalah mempertimbangkan prestasi capaian standar pelayanan
minimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
g.
RKPD disusun untuk menjamin
keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan
pengawasan.
h.
Penyusunan RKPD diselesaikan
selambat-lambatnya akhir bulan Mei tahun anggaran sebelumnya.
i.
RKPD ditetapkan dengan peraturan
kepala daerah.
Diagram alur Perencanaan dan Penyusunan
APBD terlihat sebagai berikut:
A. Pengertian Standar Pelayanan
Minimal (SPM)
Undang-Undang 32 tahun 2004 pasal
11 (4), menyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat
wajib yang berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal dilaksanakan secara
bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah. Di lain pihak Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 58 tahun 2003 pasal 39 ayat (2) menyebutkan bahwa Standar Pelayanan
Minimal merupakan tolok ukur kinerja dalam menentukan pencapaian jenis dan mutu
pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah.
Selain itu dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) ditegaskan bahwa SPM berisi ketentuan tentang jenis dan
mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh
masyarakat secara minimal.
Penetapan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) oleh pemerintah pusat adalah cara untuk
menjamin dan
mendukung pelaksanaan urusan wajib oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota, dan sekaligus merupakan
akuntabilitas daerah kepada pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Di samping itu, SPM juga dapat dipakai sebagai alat pembinaan dan
pengawasan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
B. Manfaat Penerapan Standar
Pelayanan Minimal
Berdasarkan ketentuan yang
tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005, tentang Penyusunan
dan Penerapan SPM disebutkan bahwa SPM mempunyai beberapa manfaat, antara lain:
1. Memberikan jaminan bahwa masyarakat akan menerima suatu pelayanan
publik dari pemerintah daerah sehingga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat
dan terjaminnya hak masyarakat untuk menerima suatu pelayanan dasar dari
pemerintah daerah setempat dengan mutu tertentu.
2. Dengan ditetapkannya SPM akan dapat ditentukan jumlah anggaran yang
dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan publik, sehingga SPM dapat
dijadikan dasar untuk penentuan kebutuhan pembiayaan daerah;
3. Standar Pelayanan Minimal dapat dipakai sebagai landasan dalam
menentukan perimbangan keuangan dan/atau bantuan lain yang lebih adil dan
transparan.
4. Menjadi dasar dalam menentukan anggaran berbasis kinerja. Dalam hal ini
SPM dapat dijadikan dasar dalam menentukan alokasi anggaran daerah dengan
tujuan yang lebih terukur. Di samping itu SPM dapat dijadikan sebagai alat
untuk meningkatkan akuntabilitas Pemerintah Daerah terhadap masyarakat,
sebaliknya masyarakat dapat mengukur sejauh mana pemerintah daerah memenuhi
kewajibannya dalam menyediakan pelayanan publik;
5. Sebagai alat ukur bagi kepala daerah dalam melakukan penilaian kinerja
yang telah dilaksanakan oleh unit kerja penyedia suatu pelayanan;
6. Sebagai benchmark untuk mengukur tingkat keberhasilan pemerintah
daerah dalam pelayanan publik;
7. Menjadi dasar bagi pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh institusi
pengawasan;
8. SPM akan dapat memperjelas tugas pokok Pemerintah Daerah dan mendorong
terwujudnya check and balances yang lebih efektif;
9.
Mendorong transparansi dan partisipasi
masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah.
C. Prinsip-Prinsip Penerapan
Standar Pelayanan Minimal
Beragamnya kondisi daerah, baik kondisi
ekonomi, sosial, budaya, maupun kondisi geografis akan berdampak pada kemampuan
daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan kata lain setiap
daerah mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mengimplementasikan SPM. Oleh
karena itu, prinsip-prinsip dalam penerapan SPM perlu dipahami.
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005
menyebutkan bahwa prinsip-prinsip penerapan standar pelayanan minimal sebagai
berikut :
1.
SPM disusun sebagai alat
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah untuk menjamin akses dan mutu
pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib.
2.
SPM ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat dan diberlakukan untuk Pemerintah dan Pemerintahan Daerah (provinsi,
kabupaten /kota);
3.
Penerapan Standar Pelayanan
Minimal oleh Pemerintahan Daerah merupakan bagian dari penyelenggaraan
pelayanan dasar nasional;
4.
SPM bersifat sederhana, konkrit,
mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan, serta
mempunyai batas waktu pencapaian;
5.
SPM harus dijadikan acuan dalam
perencanaan daerah, penganggaran, pengawasan, pelaporan dan sebagai alat untuk
menilai pencapaian kinerja;
6.
SPM harus fleksibel dan mudah
disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan kelembagaan
serta personil daerah dalam bidang yang bersangkutan.
D.
Kebijakan Umum APBD serta Prioritas dan
Plafon Anggaran Sementara (PPAS)
Suatu jembatan antara proses
perumusan kebijakan dan penganggaran merupakan hal penting dan mendasar agar
kebijakan menjadi realitas dan bukannya hanya sekedar harapan.
Untuk
tujuan ini harus ditetapkan setidaknya dua aturan yang jelas:
1.
Implikasi dari perubahan kebijakan
(kebijakan yang diusulkan) terhadap sumber daya harus dapat diidentifikasi,
meskipun dalam estimasi yang kasar, sebelum kebijakan ditetapkan. Suatu entitas
yang mengajukan kebijakan baru harus dapat menghitung pengaruhnya terhadap pengeluaran
publik, baik pengaruhnya terhadap pengeluaran sendiri maupun terhadap
departemen pemerintah yang lain.
2.
Semua proposal harus
dibicarakan/dikonsultasikan dan dikoordinasikan dengan para pihak terkait:
Ketua TAPD, Kepala Bappeda dan Kepala SKPD.
Dalam proses penyusunan anggaran, tim anggaran pemerintah
daerah (TAPD) harus bekerjasama dengan baik dengan satuan kerja perangkat
daerah (SKPD) untuk menjamin bahwa anggaran disiapkan dalam koridor kebijakan
yang sudah ditetapkan (KUA dan PPAS); dan menjamin semua stakeholders terlibat
dalam proses penganggaran sesuai dengan peraturan yang berlaku. Konsultasi
dapat memperkuat legislatif untuk menelaah strategi pemerintah dan anggaran.
Dengan pendapat antara legislatif dan
pemerintah, demikian juga dengan adanya tekanan dari masyarakat, dapat memberi
mekanisme yang efektif untuk mengkonsultasikan secara luas kebijakan yang
terbaik. Pemerintah harus berusaha untuk mengambil umpan balik atas kebijakan
dan pelaksanaan anggarannya dari masyarakat, misalnya melalui survey, evaluasi,
seminar, dsb. Akan tetapi, proses penyusunan anggaran harus menghindari tekanan
yang berlebihan dari pihak-pihak yang berkepentingan dan para pelobi, agar
penyusunan anggaran dapat diselesaikan tepat waktu.
a.
Kebijakan Umum
Proses
penyusunan KUA adalah sebagai berikut:
1.
Kepala daerah berdasarkan RKPD
menyusun rancangan kebijakan umum APBD (RKUA).
2.
Penyusunan RKUA berpedoman pada
pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setiap tahun. Sebagai contoh
untuk bahan penyusunan APBD Tahun 2007 Menteri Dalam Negeri telah menerbitkan Permendagri
Nomor 26 Tahun 2006 tertanggal 1 September 2006 tentang Pedoman
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2007.
3.
Kepala daerah menyampaikan RKUA
tahun anggaran berikutnya, sebagai landasan penyusunan RAPBD, kepada DPRD
selambat-lambatnya pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan.
4.
RKUA yang telah dibahas kepala
daerah bersama DPRD dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD selanjutnya disepakati
menjadi Kebijakan Umum APBD (KUA).
Pedoman Penyusunan Anggaran seperti tercantum
dalam Permendagri Nomor 26 Tahun 2006 tersebut di atas memuat antara lain:
1.
pokok-pokok kebijakan yang memuat
sinkronisasi kebijakan pemerintah dengan pemerintah daerah;
2.
prinsip dan kebijakan penyusunan
APBD tahun anggaran bersangkutan;
3.
teknis penyusunan APBD; dan
4.
hal-hal khusus lainnya.
b.
Prioritas dan Plafon
Anggaran Sementara
Untuk penyusunan rancangan APBD, diperlukan adanya urutan Prioritas dan
Plafon Anggaran Sementara (PPAS). PPAS merupakan program prioritas dan patokan
batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD untuk setiap program sebagai acuan
dalam penyusunan RKA-SKPD. Proses penyusunan dan pembahasan PPAS menjadi PPA
adalah sebagai berikut:
1.
Berdasarkan KUA yang telah disepakati,
pemda dan DPRD membahas rancangan prioritas dan plafon anggaran sementara
(PPAS) yang disampaikan oleh kepala daerah.
2.
Pembahasan PPAS.
3.
Pembahasan PPAS dilaksanakan
dengan langkah-langkah sbb :
ü Menentukan skala prioritas dalam urusan wajib dan urusan pilihan;
ü Menentukan urutan program dalam masing-masing urusan;
ü Menyusun plafon anggaran sementara untuk masing-masing program.
4.
KUA dan PPAS yang telah dibahas
dan disepakati bersama kepala daerah dan DPRD dituangkan dalam nota kesepakatan
yang ditandatangani bersama oleh kepala daerah dan pimpinan DPRD.
5.
Kepala daerah berdasarkan nota
kesepakatan menerbitkan pedoman penyusunan rencana kerja dan anggaran SKPD
(RKA-SKPD) sebagai pedoman kepala SKPD menyusun RKA-SKPD.
Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 87 ayat (2)
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, kepala daerah menyampaikan rancangan PPAS
kepada DPRD untuk dibahas bersama antara TAPD dan panitia anggaran DPRD paling
lambat minggu kedua bulan Juli dari tahun anggaran berjalan. Setelah disepakati
bersama PPAS tersebut ditetapkan sebagai Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA)
paling lambat pada akhir bulan Juli tahun anggaran berjalan. Format PPAS dapat
dilihat pada lampiran dari Permendagri Nomor 13 Tahun 2006.
E.
Penyusunan Rencana Kerja
dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD)
Menurut Pasal 89 ayat (3) Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, setelah ada
Nota Kesepakatan tersebut di atas Tim Anggaran (TAPD) menyiapkan surat edaran
kepala daerah tentang Pedoman Penyusunan RKA-SKPD yang harus diterbitkan paling
lambat awal bulan Agustus tahun anggaran berjalan.
Pengaturan pada aspek perencanaan diarahkan agar seluruh proses
penyusunan APBD semaksimal mungkin dapat menunjukkan latar belakang pengambilan
keputusan dalam penetapan arah kebijakan umum, skala prioritas dan penetapan
alokasi serta distribusi sumber daya dengan melibatkan partisipasi masayarakat.
Sementara itu, penyusunan anggaran dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu
pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah (KPJM), pendekatan anggaran
terpadu, dan pendekatan anggaran kinerja.
Pendekatan KPJM adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan,
dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam
perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya
keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam
prakiraan maju. Kerangka pengeluaran jangka menengah digunakan untuk mencapai
disiplin fiskal secara berkelanjutan.
Gambaran jangka menengah diperlukan karena rentang waktu anggaran satu
tahun terlalu pendek untuk tujuan penyesuaian prioritas pengeluaran, dan
ketidakpastian terlalu besar bila perspektif anggaran dibuat dalam jangka
panjang (di atas 5 tahun). Proyeksi pengeluaran jangka menengah juga diperlukan
untuk menunjukkan arah perubahan yang diinginkan.
Dengan menggambarkan implikasi dari kebijakan tahun berjalan terhadap
anggaran tahun-tahun berikutnya, proyeksi pengeluaran multi tahun akan
memungkinkan pemerintah untuk dapat mengevaluasi biaya-efektivitas (kinerja)
dari program yang dilaksanakan. Sedangkan pada pendekatan anggaran tahunan yang
murni, hubungan antara kebijakan sektoral dengan alokasi anggaran biasanya
lemah, dalam arti sumber daya yang diperlukan tidak cukup mendukung
kebijakan/program yang ditetapkan. Akan tetapi, harus dihindari perangkap
dimana pendekatan pemograman multi tahun ini dengan sendirinya membuka peluang
terhadap peningkatan pengeluaran yang tidak perlu atau tidak relevan.
Penganggaran terpadu (unified budgeting) adalah penyusunan
rencana keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis
belanja guna melaksanakan kegiatan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip
pencapaian efisiensi alokasi dana dan untuk menghindari terjadinya duplikasi
belanja. Sedangkan penyusunan anggaran berbasis kinerja dilakukan dengan
memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang
diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut.
Dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja diperlukan indikator kinerja,
standar biaya, dan evaluasi kinerja dari setiap program dan jenis kegiatan.
Pendekatan penganggaran berdasarkan prestasi kerja dilaksanakan dengan
memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dan keluaran yang diharapkan dari
kegiatan dengan hasil kerja dan manfaat yang diharapkan termasuk efisiensi
dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut.
Anggaran
Berbasis Kinerja ini disusun berdasarkan pada:
a. Indikator kinerja;
b. Capaian atau target kinerja;
c. Analisis standar belanja (ASB);
d. Standar satuan kerja; dan
e. Standar pelayanan minimal.
Dokumen penyusunan anggaran yang
disampaikan oleh masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang
disusun dalam format Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD harus betul-betul
dapat menyajikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, serta korelasi
antara besaran anggaran (beban kerja dan harga satuan) dengan manfaat dan hasil
yang ingin dicapai atau diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan yang
dianggarkan.
Oleh karena itu penerapan anggaran
berbasis kinerja mengandung makna bahwa setiap pengguna anggaran (penyelenggara
pemerintahan) berkewajiban untuk bertanggungjawab atas hasil proses dan
penggunaan sumber dayanya.
Selanjutnya, beberapa prinsip
dalam disiplin anggaran yang perlu diperhatikan dalam penyusunan anggaran
daerah antara lain adalah (1) Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan
yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan,
sedangkan belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja;
(2) Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya
penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan
yang belum tersedia atau tidak mencukupi kredit anggarannya dalam
APBD/Perubahan APBD; dan (3) Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam
tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukan dalam APBD dan dilakukan
melalui rekening Kas Umum Daerah.
Format dan cara pengisian RKA-SKPD
dapat dilihat pada lampiran dari Permendagri Nomor 13 Tahun 2006.
F.
Penyiapan Raperda APBD
RKA-SKPD yang
telah disusun, dibahas, dan disepakati bersama antara Kepala SKPD dan Tim
Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) digunakan sebagai dasar untuk penyiapan
Raperda APBD. Raperda ini disusun oleh pejabat pengelola keuangan daerah yang
untuk selanjutnya disampaikan kepada kepala daerah.
Raperda
tentang APBD harus dilengkapi dengan lampiran-lampiran berikut ini:
a.
ringkasan APBD menurut urusan
wajib dan urusan pilihan;
b.
ringkasan APBD menurut urusan
pemerintahan daerah dan organisasi;
c.
rincian APBD menurut urusan
pemerintahan daerah, organisasi, pendapatan, belanja, dan pembiayaan;
d.
rekapitulasi belanja menurut
urusan pemerintahan daerah, organisasi, program, dan kegiatan;
e.
rekapitulasi belanja daerah
untuk keselarasan dan keterpaduan urusan pemerintahan daerah dan fungsi dalam
kerangka pengelolaan keuangan negara;
f.
daftar jumlah pegawai
per-golongan dan per-jabatan;
g.
daftar piutang daerah;
h.
daftar penyertaan modal
(investasi) daerah;
i.
daftar perkiraan
penambahan dan pengurangan aset tetap daerah;
j.
daftar perkiraan
penambahan dan pengurangan aset-aset lain;
k.
daftar kegiatan-kegiatan tahun
anggaran sebelumnya yang belum diselesaikan dan dianggarkan kembali dalam tahun
anggaran ini;
l.
dafar dana cadangan
daerah; dan
m. daftar penjaman daerah.
Suatu hal
penting yang harus diperhatikan adalah bahwa sebelum disampaikan dan dibahas
dengan DPRD, Raperda tersebut harus disosialisasikan terlebih dahulu kepada
masyarakat yang bersifat memberikan informasi tentang hak dan kewajiban
pemerintah daerah serta masyarakat dalam pelaksanaan APBD pada tahun anggaran
yang direncanakan. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi tentang Raperda APBD ini
dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah selaku koordinator pengelola keuangan
daerah.
Terima kasih atas artiklenya,,semangat
BalasHapus