Mungkinkah
Agama menjadi Dasar bagi Ilmu Pengetahuan?
Pertanyaan ini sangat mendasar dan
telah menjadi pertanyaan klasik dalam wacana perkembangan ilmu pengetahuan. Sejarah
dunia telah menunjukan bahwa ilmu pengetahuan dan agama telah pernah berjalan
beriringan, sebagaimana juga berjalan berlawanan. Namun demikian, masih
terdapat pendapat yang meragukan atau bahkan menolak kemungkinan membangun ilmu
pengetahuan di atas landasan agama.
Chapra (2001) memberikan penjelasan
tentang alasan yang umum digunakan untuk menolak kemungkinan ilmu pengetahua dibangun
di atas paradigma agama serta alasan bagi kemungkinannya. Hal pertama yang
dijadikan alasan ketidak mungkinan penyatuan ilmu pengetahuan dan agama
adalah karena keduanya berada pada tingkat kenyataan yang sama sekali
berbeda. Ilmu pengetahuan berkaitan dengan alam raya secara fisik yang dapat dikenali
oleh
pancaindera,
sedangkan agama cakupannya lebih luas. Agama mencakup tingkat kenyataan yang
lebih tinggi, bersifat transendental, dan melebihi jangkauan panca indera,
termasuk aspek kehidupan setelah kematian (akhirat). Hal kedua adalah sumber
acuan agama dan ilmu pengetahuan adalah berbeda. Ilmu.pengetahuan bertumpu
kepada akal sementara agama bersumber dari wahyu Tuhan. Dengan menggunakan
berbagai metodenya kemudian disebut metode ilmiah) ilmu pengetahuan berusaha untuk
mendiskripsikan, menganalisis, dan kemudian memprediksi fakta-fakta empiris
untuk berbagai kepentingan kehidupan manusia. Di sini terkandung sebuah asumsi
implisit bahwa manusia mengetahui dengan pasti atas seluruh aspek kehidupannya
sehinggaa dapat memutuskan sendiri apa yang terbaik baginya. Sementara,
dengan
mendasarkan atas wahyu Tuhan dan segala derivasi sumber kebenaran darinya agama
juga berusaha untuk mendeskripsikan, menganalisis, dan memprediksi berbagai
peristiwa dalam kehidupan manusia. Di sini terkandung asumsi implisit
bahwa hanya
Tuhanlah yang mengetahui segala kebenaran dengan sebenar-benarnya kebenaran,
sedangkan manusia hanya memiliki pengetahuan yang sedikit.
Kemungkinan ilmu pengetahuan
dibangun atas dasar agama dijelaskan oleh Kahf (1992). Cakupan ilmu pengetahuan
dan agama adalah saling bertemu, dan karenanya keduanya dapat terjalin suatu hubungan
yang erat. Hal ini sangat dimungkinkan ketika agama didefinisikan sebagai
seperangkat kepercayaan dan aturan
yang pasti
untuk membimbing manusia dalam tindakannya terhadap Tuhan orang
lain dan terhadap diri sendiri. Ilmu ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai
kajian tentang perilaku manusi adalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber
daya ekonomi untuk memproduksi barang dan jasa serta mendistribusikannya untuk
dikonsumsi. Dengan definisi seperti ini maka ilmu ekonomi dapat dicakup oleh
agama, sebab ia merupakan salah satu bentuk perilaku kehidupan manusia.
Keterkaitan agama dan ilmu ini juga
dapat dikaji dengan melihat kaitan
antara
wahyu
{revelation)
dan akal
(reason). Menurut AbuSulaiman,
pemahaman seorang Muslim
terhadap keterkaitan wahyu dan akal bersumber pada ontologi
Islam. Allah telah menganugerahkan manusia dengan akal
yang merupakan alat untuk memahami dunia di
mana ia berada, untuk meggunakannya bagi pemenuhan segala kebutuhan, dan untuk
mendukung posisinya sebagai khalifah Allah di
bumi. Sementara itu, wahyu merupakan sarana untuk menuntun
manusia terhadap segala pengetahuan tentang tujuan hidupnya, untuk
memberitahu segala tanggung jawabnya dan segala sesuatu yang
berkaitan dengannya. Wahyu memberi informasi kepada manusia
tentang
berbagai konsep metafisik, tentang hubungan berbagai hal dalam
alam semesta hingga
tentang kompleksitas manusia dan interaksi sosialnya. Dengan demikian,
sebenarnya antara akal dan wahyu saling melengkapi satu sama lain
{complementary)
dan sangat berguna bagi
kehidupan manusia. Jadi, ilmu pengetahuan dan agama juga saling melengkapi
dalam membangun suatu kehidupan yang baik{hayyah
thayyibah)
bagi manusia dan seluruh kehidupan.
Secara teoretis kebenaran yang
dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dapat saja sama atau berbeda dengan yang
dihasilkan oleh agama sebagaimana secara
empiris telah
terbukti
dalam sejarah Konflik akan terjadi apabila pendekatan
agama tidak dapat diterima
oleh akal
manusia sehingga tidak diterima pula oleh ilmu pengetahuan. Konflik juga
akan
terjadi apabila ilmu pengetahuan mencoba untuk
memasuki wilayah
yang secara metodologis
tidak dapat dicakup oleh ilmu pengetahuan. Sejarah dialektika
ilmu pengetahuan dan agama ini dengan mudah didapati
dalam dunia Barat maupun Timur (Islam) sejak berabad-abad lalu dan berlanjut
hingga kini Sejarah pula yang telah membuktikan bahwa antara keduanya tidak
harus terjadi konflik yang melahirkan
dikotomisasi
rigid
antara ilmupengetahuan dan agama, tetapi saling mengisi satu sama lainnya.
Pada masa
teaman/golden age
(abad 7-13 M) di dunia Islam agama dan ilmu pengetahuan pernah menyatu dalam
membentuk satu peradaban yang menakjubkan, serta saling menguat satu sama lain.
Selama kurun waktu tersebut paradaban Islam menyinari dunia, termasuk dunia
Barat. Konsep integrasi agama dan ilmu pengetahuan inilah yang dalam masa
sekarang dijadikan sebagai paradigm pengembangan ilmu pengetahuan yang Islami.
Problem hubungan agama dengan ilmu
BalasHapusSebelum kita berbicara secara panjang lebar seputar hubungan antara agama dengan ilmu dengan segala problematika yang bersifat kompleks yang ada didalamnya maka untuk mempermudah mengurai benang kusut yang terjadi seputar problematika hubungan antara agama dengan ilmu maka kita harus mengenal terlebih dahulu dua definisi pengertian ‘ilmu’ yang jauh berbeda satu sama lain,yaitu definisi pengertian ‘ilmu’ versi sudut pandang Tuhan dan versi sudut pandang manusia yang lahir melalui kacamata sudut pandang materialist.
Pertama adalah definisi pengertian ‘ilmu’ versi sudut pandang materialistik yang kita kenal sebagai ‘saintisme’ yang membuat definisi pengertian ‘ilmu’ sebagai berikut : ‘ilmu adalah segala suatu yang sebatas wilayah pengalaman dunia indera’,(sehingga bila mengikuti definisi saintisme maka otomatis segala suatu yang bersifat abstrak - gaib yang berada diluar wilayah pengalaman dunia indera menjadi tidak bisa dimasukan sebagai wilayah ilmu).faham ini berpandangan atau beranggapan bahwa ilmu adalah ‘ciptaan’ manusia sehingga batas dan wilayah jelajahnya harus dibingkai atau ditentukan oleh manusia.
Kedua adalah definisi pengertian ‘ilmu’ versi sudut pandang Tuhan yang mengkonsepsikan ‘ilmu’ sebagai suatu yang harus bisa mendeskripsikan keseluruhan realitas baik yang abstrak maupun yang konkrit sehingga dua dimensi yang berbeda itu bisa difahami secara menyatu padu sebagai sebuah kesatuan system.pandangan Ilahiah ini menyatakan bahwa ilmu adalah suatu yang berasal dari Tuhan sehingga batas dan wilayah jelajahnya ditentukan oleh Tuhan dan tidak bisa dibatasi oleh manusia, artinya bila kita melihatnya dengan kacamata sudut pandang Tuhan dalam persoalan cara melihat dan memahami ‘ilmu’ manusia harus mengikuti pandangan Tuhan.
Bila kita merunut asal muasal perbedaan yang tajam antara konsep ilmu versi saintisme dengan konsep ilmu versi Tuhan sebenarnya mudah : kekeliruan konsep ‘ilmu’ versi saintisme sebenarnya berawal dari pemahaman yang salah atau yang ‘bermata satu’ terhadap realitas,menurut sudut pandang materialist ‘realitas’ adalah segala suatu yang bisa ditangkap oleh pengalaman dunia indera,sedang konsep ‘realitas’ versi Tuhan : ‘realitas’ adalah segala suatu yang diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi ‘ada’,dimana seluruh realitas yang tercipta itu terdiri dari dua dimensi : yang abstrak dan yang konkrit, analoginya sama dengan realitas manusia yang terdiri dari jiwa dan raga atau realitas komputer yang terdiri dari software dan hard ware.
Berangkat dari pemahaman terhadap realitas yang bersifat materialistik seperti itulah kaum materialist membuat definisi konsep ilmu sebagai berikut : ‘ilmu adalah segala suatu yang sebatas wilayah pengalaman dunia indera’ dan metodologi ilmu dibatasi sebatas sesuatu yang bisa dibuktikan secara empirik.
Ini adalah konsep yang bertentangan dengan konsep dan metodologi ilmu versi Tuhan,karena realitas terdiri dari dua dimensi antara yang konkrit dan yang abstrak maka dalam pandangan Tuhan (yang menjadi konsep agama) konsep ‘ilmu’ tidak bisa dibatasi sebatas wilayah pengalaman dunia indera dan metodologinya pun tidak bisa dibatasi oleh keharusan untuk selalu terbukti langsung secara empirik oleh mata telanjang,sebab dibalik realitas konkrit ada realitas abstrak yang metodologi untuk memahaminya pasti berbeda dengan metodologi untuk memahami ilmu material (sains),dan kedua : manusia bukan saja diberi indera untuk menangkap realitas yang bersifat konkrit tapi juga diberi akal dan hati yang memiliki ‘mata’ dan pengertian untuk menangkap dan memahami realitas atau hal hal yang bersifat abstrak.dimana akal bila digunakan secara maksimal (tanpa dibatasi oleh prinsip materialistik) akan bisa menangkap konstruksi realitas yang bersifat menyeluruh (konstruksi yang menyatu padukan yang abstrak dan yang konkrit),dan hati berfungsi untuk menangkap essensi dari segala suatu yang ada dalam realitas ke satu titik pengertian.