Kamis, 05 Januari 2012

Mungkinkah Agama menjadi Dasar bagi Ilmu Pengetahuan?


Mungkinkah Agama menjadi Dasar bagi Ilmu Pengetahuan?
Pertanyaan ini sangat mendasar dan telah menjadi pertanyaan klasik dalam wacana perkembangan ilmu pengetahuan. Sejarah dunia telah menunjukan bahwa ilmu pengetahuan dan agama telah pernah berjalan beriringan, sebagaimana juga berjalan berlawanan. Namun demikian, masih terdapat pendapat yang meragukan atau bahkan menolak kemungkinan membangun ilmu pengetahuan di atas landasan agama.
Chapra (2001) memberikan penjelasan tentang alasan yang umum digunakan untuk menolak kemungkinan ilmu pengetahua dibangun di atas paradigma agama serta alasan bagi kemungkinannya. Hal pertama yang dijadikan alasan ketidak mungkinan penyatuan ilmu pengetahuan dan agama adalah karena keduanya berada pada tingkat kenyataan yang sama sekali berbeda. Ilmu pengetahuan berkaitan dengan alam raya secara fisik yang dapat dikenali oleh pancaindera, sedangkan agama cakupannya lebih luas. Agama mencakup tingkat kenyataan yang lebih tinggi, bersifat transendental, dan melebihi jangkauan panca indera, termasuk aspek kehidupan setelah kematian (akhirat). Hal kedua adalah sumber acuan agama dan ilmu pengetahuan adalah berbeda. Ilmu.pengetahuan bertumpu kepada akal sementara agama bersumber dari wahyu Tuhan. Dengan menggunakan berbagai metodenya kemudian disebut metode ilmiah) ilmu pengetahuan berusaha untuk mendiskripsikan, menganalisis, dan kemudian memprediksi fakta-fakta empiris untuk berbagai kepentingan kehidupan manusia. Di sini terkandung sebuah asumsi implisit bahwa manusia mengetahui dengan pasti atas seluruh aspek kehidupannya sehinggaa dapat memutuskan sendiri apa yang terbaik baginya. Sementara, dengan mendasarkan atas wahyu Tuhan dan segala derivasi sumber kebenaran darinya agama juga berusaha untuk mendeskripsikan, menganalisis, dan memprediksi berbagai peristiwa dalam kehidupan manusia. Di sini terkandung asumsi implisit bahwa hanya Tuhanlah yang mengetahui segala kebenaran dengan sebenar-benarnya kebenaran, sedangkan manusia hanya memiliki pengetahuan yang sedikit.
Kemungkinan ilmu pengetahuan dibangun atas dasar agama dijelaskan oleh Kahf (1992). Cakupan ilmu pengetahuan dan agama adalah saling bertemu, dan karenanya keduanya dapat terjalin suatu hubungan yang erat. Hal ini sangat dimungkinkan ketika agama didefinisikan sebagai seperangkat kepercayaan dan aturan yang pasti untuk membimbing manusia dalam tindakannya terhadap Tuhan orang lain dan terhadap diri sendiri. Ilmu ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai kajian tentang perilaku manusi adalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber daya ekonomi untuk memproduksi barang dan jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi. Dengan definisi seperti ini maka ilmu ekonomi dapat dicakup oleh agama, sebab ia merupakan salah satu bentuk perilaku kehidupan manusia.
Keterkaitan agama dan ilmu ini juga dapat dikaji dengan melihat kaitan antara wahyu {revelation) dan akal (reason). Menurut AbuSulaiman, pemahaman seorang Muslim terhadap keterkaitan wahyu dan akal bersumber pada ontologi Islam. Allah telah menganugerahkan manusia dengan akal yang merupakan alat untuk memahami dunia di mana ia berada, untuk meggunakannya bagi pemenuhan segala kebutuhan, dan untuk mendukung posisinya sebagai khalifah Allah di bumi. Sementara itu, wahyu merupakan sarana untuk menuntun manusia terhadap segala pengetahuan tentang tujuan hidupnya, untuk memberitahu segala tanggung jawabnya dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Wahyu memberi informasi kepada manusia tentang berbagai konsep metafisik, tentang hubungan berbagai hal dalam alam semesta hingga tentang kompleksitas manusia dan interaksi sosialnya. Dengan demikian, sebenarnya antara akal dan wahyu saling melengkapi satu sama lain {complementary) dan sangat berguna bagi kehidupan manusia. Jadi, ilmu pengetahuan dan agama juga saling melengkapi dalam membangun suatu kehidupan yang baik{hayyah thayyibah) bagi manusia dan seluruh kehidupan.
Secara teoretis kebenaran yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dapat saja sama atau berbeda dengan yang dihasilkan oleh agama sebagaimana secara empiris telah terbukti dalam sejarah Konflik akan terjadi apabila pendekatan agama tidak dapat diterima oleh akal manusia sehingga tidak diterima pula oleh ilmu pengetahuan. Konflik juga akan terjadi apabila ilmu pengetahuan mencoba untuk memasuki wilayah yang secara metodologis tidak dapat dicakup oleh ilmu pengetahuan. Sejarah dialektika ilmu pengetahuan dan agama ini dengan mudah didapati dalam dunia Barat maupun Timur (Islam) sejak berabad-abad lalu dan berlanjut hingga kini Sejarah pula yang telah membuktikan bahwa antara keduanya tidak harus  terjadi konflik yang melahirkan dikotomisasi rigid antara ilmupengetahuan dan agama, tetapi saling mengisi satu sama lainnya.
Pada masa teaman/golden age (abad 7-13 M) di dunia Islam agama dan ilmu pengetahuan pernah menyatu dalam membentuk satu peradaban yang menakjubkan, serta saling menguat satu sama lain. Selama kurun waktu tersebut paradaban Islam menyinari dunia, termasuk dunia Barat. Konsep integrasi agama dan ilmu pengetahuan inilah yang dalam masa sekarang dijadikan sebagai paradigm pengembangan ilmu pengetahuan yang Islami.

1 komentar:

  1. Problem hubungan agama dengan ilmu

    Sebelum kita berbicara secara panjang lebar seputar hubungan antara agama dengan ilmu dengan segala problematika yang bersifat kompleks yang ada didalamnya maka untuk mempermudah mengurai benang kusut yang terjadi seputar problematika hubungan antara agama dengan ilmu maka kita harus mengenal terlebih dahulu dua definisi pengertian ‘ilmu’ yang jauh berbeda satu sama lain,yaitu definisi pengertian ‘ilmu’ versi sudut pandang Tuhan dan versi sudut pandang manusia yang lahir melalui kacamata sudut pandang materialist.
    Pertama adalah definisi pengertian ‘ilmu’ versi sudut pandang materialistik yang kita kenal sebagai ‘saintisme’ yang membuat definisi pengertian ‘ilmu’ sebagai berikut : ‘ilmu adalah segala suatu yang sebatas wilayah pengalaman dunia indera’,(sehingga bila mengikuti definisi saintisme maka otomatis segala suatu yang bersifat abstrak - gaib yang berada diluar wilayah pengalaman dunia indera menjadi tidak bisa dimasukan sebagai wilayah ilmu).faham ini berpandangan atau beranggapan bahwa ilmu adalah ‘ciptaan’ manusia sehingga batas dan wilayah jelajahnya harus dibingkai atau ditentukan oleh manusia.
    Kedua adalah definisi pengertian ‘ilmu’ versi sudut pandang Tuhan yang mengkonsepsikan ‘ilmu’ sebagai suatu yang harus bisa mendeskripsikan keseluruhan realitas baik yang abstrak maupun yang konkrit sehingga dua dimensi yang berbeda itu bisa difahami secara menyatu padu sebagai sebuah kesatuan system.pandangan Ilahiah ini menyatakan bahwa ilmu adalah suatu yang berasal dari Tuhan sehingga batas dan wilayah jelajahnya ditentukan oleh Tuhan dan tidak bisa dibatasi oleh manusia, artinya bila kita melihatnya dengan kacamata sudut pandang Tuhan dalam persoalan cara melihat dan memahami ‘ilmu’ manusia harus mengikuti pandangan Tuhan.
    Bila kita merunut asal muasal perbedaan yang tajam antara konsep ilmu versi saintisme dengan konsep ilmu versi Tuhan sebenarnya mudah : kekeliruan konsep ‘ilmu’ versi saintisme sebenarnya berawal dari pemahaman yang salah atau yang ‘bermata satu’ terhadap realitas,menurut sudut pandang materialist ‘realitas’ adalah segala suatu yang bisa ditangkap oleh pengalaman dunia indera,sedang konsep ‘realitas’ versi Tuhan : ‘realitas’ adalah segala suatu yang diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi ‘ada’,dimana seluruh realitas yang tercipta itu terdiri dari dua dimensi : yang abstrak dan yang konkrit, analoginya sama dengan realitas manusia yang terdiri dari jiwa dan raga atau realitas komputer yang terdiri dari software dan hard ware.
    Berangkat dari pemahaman terhadap realitas yang bersifat materialistik seperti itulah kaum materialist membuat definisi konsep ilmu sebagai berikut : ‘ilmu adalah segala suatu yang sebatas wilayah pengalaman dunia indera’ dan metodologi ilmu dibatasi sebatas sesuatu yang bisa dibuktikan secara empirik.
    Ini adalah konsep yang bertentangan dengan konsep dan metodologi ilmu versi Tuhan,karena realitas terdiri dari dua dimensi antara yang konkrit dan yang abstrak maka dalam pandangan Tuhan (yang menjadi konsep agama) konsep ‘ilmu’ tidak bisa dibatasi sebatas wilayah pengalaman dunia indera dan metodologinya pun tidak bisa dibatasi oleh keharusan untuk selalu terbukti langsung secara empirik oleh mata telanjang,sebab dibalik realitas konkrit ada realitas abstrak yang metodologi untuk memahaminya pasti berbeda dengan metodologi untuk memahami ilmu material (sains),dan kedua : manusia bukan saja diberi indera untuk menangkap realitas yang bersifat konkrit tapi juga diberi akal dan hati yang memiliki ‘mata’ dan pengertian untuk menangkap dan memahami realitas atau hal hal yang bersifat abstrak.dimana akal bila digunakan secara maksimal (tanpa dibatasi oleh prinsip materialistik) akan bisa menangkap konstruksi realitas yang bersifat menyeluruh (konstruksi yang menyatu padukan yang abstrak dan yang konkrit),dan hati berfungsi untuk menangkap essensi dari segala suatu yang ada dalam realitas ke satu titik pengertian.

    BalasHapus

NAMA